Kamis, 02 November 2017

“MONSTER KECIL” YANG MENGGEMASKAN


“Ibu, jangan pulang, sini aja”. Cegah mereka sambil memegangi tangan kanan dan kiri saya.

“Iya Bu, jangan pulang, nginep sini aja”, sahut yang lain.

“Ibu kan kelasnya udah selesai. Nanti habis ini ada kelas lain”. Kata saya kepada mereka sambil memikirkan bagaimana caranya untuk lepas dari “jeratan” anak-anak ini.

Mencoba mengalihkan perhatian mereka, kemudian saya mengajak mereka untuk selfie bersama, “Ehh..kita selfie dulu yuukk!”

“Ayook..Ayook Bu”, sambil bersemangat mereka mulai berebut mendekati saya. Saya hampir saja terjatuh.

“Udah ya, sekarang Ibu pergi dulu”.

Mereka semakin kuat memegangi tangan saya dan kali ini pintu kelas ditutup. “Yaah jangan Bu, sini aja”.

Hhhh.. saya tidak boleh kehabisan cara untuk lepas dari “kurungan mereka”. Cara apalagi yang akan saya gunakan ya? Sambil berpikir akan bagaimana ini.

Selfie bersama

***
Itu sekelumit cerita dari kelas 4A setelah sesi saya berakhir di kelas ini. Teman-teman relawan juga mengakui bahwa kelas ini penuh dengan tantangan. Tenaga mereka super sekali. Bahkan hingga sesi terakhir pun seperti tidak kehabisan amunisi energi.

Sesi kali ini adalah sesi saya, karena sebelumnya saya membuat perjanjian bersama partner pengajar saya. Kami bersepakat untuk saling bergantian saat mengisi kelas, jika salah satu menjadi pemateri maka yang satunya berperan sebagai asisten. Kami butuh tenaga ekstra untuk menghadapinya, energi mereka dua kali lebih besar dibanding kami.

Pertama kali masuk kelas, saya yakin pengajar akan langsung dapat mengenali mana anak yang terkenal sebagai “bos” dan mana anak yang “penurut” bahkan ada anak yang suka menjadi “troublemaker”. Di sini tugas bapak dan ibu guru dimulai. Pengajar dituntut untuk menaklukan tantangan bagaimana memanage kelas supaya pengajar bisa jadi aktor utama yang bisa menjadi perhatian mereka selama kelas berlangsung.

Beruntungnya dua hari sebelum pelaksanaan Kemenkeu Mengajar, kami dibriefing oleh salah satu alumni Pengajar Muda Indonesia Mengajar yang sudah mumpuni dalam dunia pengajaran. Meski teori sudah kami dapatkan, nyatanya setelah masuk kelas materi yang telah kami dapatkan tersebut bisa hilang seketika saat menghadapi “moster kecil” ini. Ya, saya menyebutnya “monster kecil yang lucu”. Karena mereka akan berubah menjadi “monster” yang menggemaskan bila kita bisa memperlakukan dengan tepat, namun mereka juga bisa berubah menjadi “monster yang terlihat ganas” bila cara kita salah dalam memperlakukan mereka.

Outline pengajaran yang kami buat sebelumnya hanya nyantol beberapa poin saja, selebihnya mengikuti kondisi kelas yang sedang dihadapi saat itu. Karena ini adalah sesi saya sebagai pemateri, maka saya yang lebih  berperan dalam menentukan metode pengajaran seperti apa yang ingin saya inginkan. Di beberapa menit pertama rasanya saya mulai kebingungan menghadapi kelas ini. Karakteristik yang lebih susah diatur dari kelas sebelumnya. Taktik pertama saya adalah memilih polisi kelas, seperti yang telah kami dapatkan saat briefing. Saya membuat peraturan kelas dengan memilih salah satu anak untuk menjadi polisi. Tugas polisi ini adalah menertibkan kelas jika ada yang melanggar peraturan yang telah disepakati. Kami pun membuat tanda persetujuan dengan membuat cap jari di kertas kesepakatan. Dan kami sengaja memilih anak yang menjadi “bos” di kelas ini. Metode ini bisa efektif bisa jadi tidak tergantung kondisi masing-masing kelas, juga tergantung siapa polisi yang dipilih. Namun sejauh ini saya lumayan bisa mengendalikan kelas karena polisi yang saya pilih adalah anak yang menonjol sikapnya di kelas.

Kesepakatan perjanjian ketertiban kelas

Saya mulai dengan beberapa permainan tepuk. Menanyakan kesimpulan apa yang telah mereka dapatkan dari sesi sebelumnya. Kemudian, saya mengajak semua anak untuk duduk bersama di depan kelas, supaya mereka tidak bosan duduk di bangku dengan posisi formal. Saya mulai membuka alat peraga yang telah saya siapkan jauh-jauh hari. Alat peraga ini dinamakan “Pop up book sadar pajak”. Pop up book adalah semacam buku yang ketika dibuka sebesar 90 atau 180 derajat akan menghasilkan gambar 3 atau 2 dimensi. Isinya berupa profil saya, pekerjaan, pengenalan kementerian keuangan, pengenalan kantor pajak, serta materi analogi sederhana tentang pajak.

Pop up book sadar pajak

Mereka cukup antusias ketika saya membuka satu per satu halaman buku. “Waah kok bisa berdiri Bu, gambarnya”. Ahaii.. saya mendapatkan satu kunci dari mereka yaitu tertarik dengan apa yang saya peragakan.

“Ini gambar apa?” tanya saya sambil menunjuk gambar.

“Peta Indonesia, Bu”.

“Kalau ini pulau apa?” tunjuk saya pada salah satu gambar pulau.

“Sumatera”.

“Wah pinter..  kalau pulau yang diujung ini apa namanya?” tanya saya lagi.

“Papua, Bu”. Jawab salah satu anak.

Penjelasan materi

“Kalian tahu nggak, kalau kantor pajak itu ada di seluruh wilayah Indonesia dari ujung barat sampai ujung timur dan dari ujung utara sampai ujung selatan. Kalian tahu ada berapa kantor pajak di Indonesia?”.
Kemudian saya menunjuk sebuah gambar kantor pajak yang sudah tertulis jumlahnya. Sambil menjelaskan, “Kantor pajak itu ada sekitar 331 yang tersebar di seluruh Indonesia.”

“Wah, banyak ya”. Sahut mereka.

“Bu, gaji ibu berapa? Banyak ya, Bu?”, celetuk Dea. salah satu anak perempuan yang menonjol di kelas.

“Gaji ibu berapa ya? Nah, ada yang tahu gak gaji ibu itu dari mana?” Tanya saya pada mereka.

“Dari Negara”. Jawab salah satu anak laki-laki.

“Negara dari mana uangnya?” Tanya saya lagi.

“Dari pemerintah”. Jawab anak yang lainnya.

“Nah terus, pemerintah dapat uangnya dari mana coba?” saya pancing mereka lagi. Raut wajah mereka mulai kebingunga mencari jawaban atas pertanyaan saya ini.

“Pemerintah menggaji PNS itu uangnya salah satunya dari pajak. Selain itu fasilitas umum yang ada di sekitar kita juga didanai dari uang pajak. Pajak itu adalah bergotong-royong dan berbagi. Sekarang ibu mau sedikit bercerita”. Kemudian saya membuka halaman berikutnya untuk menjelaskan analogi sederhana tentang apa itu pajak.

“Kalian sudah mulai masuk ke dalam pengendalianku”. Batin saya.

***

“Ohh iya foto lagi yuk, tapi sekarang fotonya di luar ya”, ajakan saya supaya bisa lepas dari jeratan anak-anak ini. Mereka sangat bersemangat untuk berfoto, apalagi di luar sudah ada fotografer penyelamat saya. Kami pun berfoto bersama di depan kelas. Setelah itu satu per satu dari mereka berebut menyalami tangan saya. Akhirnya saya mulai bisa terlepas dari jeratan mereka. Terima kasih monster kecilku yang lucu. Kalian sungguh sangat menggemaskan.

Foto bersama kelas 4A

***

 “Ketika alat peraga harus semenarik mungkin untuk mencuri perhatian mereka dan analogi harus sesederhana mungkin sesederhana pikiran mereka”. (Yulia Nur Annisa Relawan Pengajar KM Purwokerto - SD Negeri Kedungwuluh 4 Purwokerto).

Untuk video lengkap Kemenkeu Mengajar Purwokerto- Klik Di sini ya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar