“Ibu, jangan pulang, sini aja”. Cegah mereka sambil memegangi tangan kanan dan kiri saya.
“Iya Bu, jangan pulang, nginep sini aja”, sahut yang lain.
“Iya Bu, jangan pulang, nginep sini aja”, sahut yang lain.
“Ibu kan kelasnya
udah selesai. Nanti habis ini ada kelas lain”. Kata saya kepada mereka sambil memikirkan
bagaimana caranya untuk lepas dari “jeratan” anak-anak ini.
Mencoba mengalihkan
perhatian mereka, kemudian saya mengajak mereka untuk selfie bersama,
“Ehh..kita selfie dulu yuukk!”
“Ayook..Ayook
Bu”, sambil bersemangat mereka mulai berebut mendekati saya. Saya hampir saja terjatuh.
“Udah ya,
sekarang Ibu pergi dulu”.
Mereka semakin kuat
memegangi tangan saya dan kali ini pintu kelas ditutup. “Yaah jangan Bu, sini aja”.
Hhhh.. saya tidak
boleh kehabisan cara untuk lepas dari “kurungan mereka”. Cara apalagi yang akan
saya gunakan ya? Sambil berpikir akan bagaimana ini.
Selfie bersama
***
Itu sekelumit cerita
dari kelas 4A setelah sesi saya berakhir di kelas ini. Teman-teman relawan juga
mengakui bahwa kelas ini penuh dengan tantangan. Tenaga mereka super sekali.
Bahkan hingga sesi terakhir pun seperti tidak kehabisan amunisi energi.
Sesi kali ini adalah
sesi saya, karena sebelumnya saya membuat perjanjian bersama partner pengajar saya. Kami bersepakat untuk
saling bergantian saat mengisi kelas, jika salah satu menjadi pemateri maka
yang satunya berperan sebagai asisten. Kami butuh tenaga ekstra untuk menghadapinya,
energi mereka dua kali lebih besar dibanding kami.
Pertama kali masuk
kelas, saya yakin pengajar akan langsung dapat mengenali mana anak yang terkenal
sebagai “bos” dan mana anak yang “penurut” bahkan ada anak yang suka menjadi
“troublemaker”. Di sini tugas bapak dan ibu guru dimulai. Pengajar dituntut untuk
menaklukan tantangan bagaimana memanage kelas
supaya pengajar bisa jadi aktor utama yang bisa menjadi perhatian mereka selama
kelas berlangsung.
Beruntungnya dua
hari sebelum pelaksanaan Kemenkeu Mengajar, kami dibriefing oleh salah satu alumni Pengajar Muda Indonesia Mengajar
yang sudah mumpuni dalam dunia pengajaran. Meski teori sudah kami dapatkan,
nyatanya setelah masuk kelas materi yang telah kami dapatkan tersebut bisa
hilang seketika saat menghadapi “moster kecil” ini. Ya, saya menyebutnya
“monster kecil yang lucu”. Karena mereka akan berubah menjadi “monster” yang
menggemaskan bila kita bisa memperlakukan dengan tepat, namun mereka juga bisa
berubah menjadi “monster yang terlihat ganas” bila cara kita salah dalam
memperlakukan mereka.
Outline
pengajaran yang kami buat sebelumnya hanya nyantol beberapa poin saja,
selebihnya mengikuti kondisi kelas yang sedang dihadapi saat itu. Karena ini
adalah sesi saya sebagai pemateri, maka saya yang lebih berperan dalam menentukan metode pengajaran
seperti apa yang ingin saya inginkan. Di beberapa menit pertama rasanya saya
mulai kebingungan menghadapi kelas ini. Karakteristik yang lebih susah diatur
dari kelas sebelumnya. Taktik pertama saya adalah memilih polisi kelas, seperti
yang telah kami dapatkan saat briefing.
Saya membuat peraturan kelas dengan memilih salah satu anak untuk menjadi
polisi. Tugas polisi ini adalah menertibkan kelas jika ada yang melanggar
peraturan yang telah disepakati. Kami pun membuat tanda persetujuan dengan
membuat cap jari di kertas kesepakatan. Dan kami sengaja memilih anak yang menjadi
“bos” di kelas ini. Metode ini bisa efektif bisa jadi tidak tergantung kondisi
masing-masing kelas, juga tergantung siapa polisi yang dipilih. Namun sejauh
ini saya lumayan bisa mengendalikan kelas karena polisi yang saya pilih adalah
anak yang menonjol sikapnya di kelas.
Kesepakatan perjanjian
ketertiban kelas
Saya mulai dengan
beberapa permainan tepuk. Menanyakan kesimpulan apa yang telah mereka dapatkan
dari sesi sebelumnya. Kemudian, saya mengajak semua anak untuk duduk bersama di
depan kelas, supaya mereka tidak bosan duduk di bangku dengan posisi formal.
Saya mulai membuka alat peraga yang telah saya siapkan jauh-jauh hari. Alat
peraga ini dinamakan “Pop up book
sadar pajak”. Pop up book adalah
semacam buku yang ketika dibuka sebesar 90 atau 180 derajat akan menghasilkan
gambar 3 atau 2 dimensi. Isinya berupa profil saya, pekerjaan, pengenalan
kementerian keuangan, pengenalan kantor pajak, serta materi analogi sederhana
tentang pajak.
Pop up book sadar
pajak
Mereka cukup
antusias ketika saya membuka satu per satu halaman buku. “Waah kok bisa berdiri
Bu, gambarnya”. Ahaii.. saya mendapatkan satu kunci dari mereka yaitu tertarik
dengan apa yang saya peragakan.
“Ini gambar apa?”
tanya saya sambil menunjuk gambar.
“Peta Indonesia,
Bu”.
“Kalau ini pulau
apa?” tunjuk saya pada salah satu gambar pulau.
“Sumatera”.
“Wah
pinter.. kalau pulau yang diujung ini
apa namanya?” tanya saya lagi.
“Papua, Bu”.
Jawab salah satu anak.
Penjelasan materi
“Kalian tahu
nggak, kalau kantor pajak itu ada di seluruh wilayah Indonesia dari ujung barat
sampai ujung timur dan dari ujung utara sampai ujung selatan. Kalian tahu ada
berapa kantor pajak di Indonesia?”.
Kemudian saya menunjuk sebuah gambar kantor pajak yang sudah tertulis jumlahnya. Sambil menjelaskan, “Kantor pajak itu ada sekitar 331 yang tersebar di seluruh Indonesia.”
Kemudian saya menunjuk sebuah gambar kantor pajak yang sudah tertulis jumlahnya. Sambil menjelaskan, “Kantor pajak itu ada sekitar 331 yang tersebar di seluruh Indonesia.”
“Wah, banyak ya”.
Sahut mereka.
“Bu, gaji ibu
berapa? Banyak ya, Bu?”, celetuk Dea. salah satu anak perempuan yang menonjol
di kelas.
“Gaji ibu berapa
ya? Nah, ada yang tahu gak gaji ibu itu dari mana?” Tanya saya pada mereka.
“Dari Negara”.
Jawab salah satu anak laki-laki.
“Negara dari mana
uangnya?” Tanya saya lagi.
“Dari
pemerintah”. Jawab anak yang lainnya.
“Nah terus,
pemerintah dapat uangnya dari mana coba?” saya pancing mereka lagi. Raut wajah
mereka mulai kebingunga mencari jawaban atas pertanyaan saya ini.
“Pemerintah
menggaji PNS itu uangnya salah satunya dari pajak. Selain itu fasilitas umum
yang ada di sekitar kita juga didanai dari uang pajak. Pajak itu adalah
bergotong-royong dan berbagi. Sekarang ibu mau sedikit bercerita”. Kemudian
saya membuka halaman berikutnya untuk menjelaskan analogi sederhana tentang apa
itu pajak.
“Kalian sudah
mulai masuk ke dalam pengendalianku”. Batin saya.
***
“Ohh iya foto lagi
yuk, tapi sekarang fotonya di luar ya”, ajakan saya supaya bisa lepas dari
jeratan anak-anak ini. Mereka sangat bersemangat untuk berfoto, apalagi di luar
sudah ada fotografer penyelamat saya. Kami pun berfoto bersama di depan kelas. Setelah
itu satu per satu dari mereka berebut menyalami tangan saya. Akhirnya saya
mulai bisa terlepas dari jeratan mereka. Terima kasih monster kecilku yang
lucu. Kalian sungguh sangat menggemaskan.
Foto bersama kelas 4A
***
“Ketika alat peraga harus semenarik mungkin untuk mencuri perhatian
mereka dan analogi harus sesederhana mungkin sesederhana pikiran mereka”. (Yulia
Nur Annisa – Relawan Pengajar KM Purwokerto - SD Negeri Kedungwuluh 4
Purwokerto).
Untuk video lengkap Kemenkeu Mengajar Purwokerto- Klik Di sini ya
Untuk video lengkap Kemenkeu Mengajar Purwokerto- Klik Di sini ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar