Kelas
Inspirasi adalah membuat sebuah memori untuk bisa diceritakan kepada siapapun
yang peduli pada cita-cita anak negeri, pada siapapun yang memiliki frekuensi
yang sama dengan kami untuk saling berbagi dan pada siapapun yang sekedar
tertarik untuk mendengarkan cerita hari inspirasi kami.
Kelas
Inspirasi merupakan turunan dari Indonesia Mengajar dengan sebuah tag line
“Cuti Sehari, Menginspirasi Selamanya.”
Ini adalah
kali pertama saya mengikuti Kelas Inspirasi atau yang sering kami sebut KI. Ada
berbagai alasan yang membuat hati saya tergerak untuk mengikuti kegiatan ini.
©
Pertama, Ibu saya adalah
seorang guru SD di sebuah desa. Saya hanya ingin sekedar mencoba bagaimana
rasanya pekerjaan yang dilakukan ibu saya selama puluhan tahun lamanya.
© Kedua, saya ingin mencoba
tantangan baru untuk mengajar anak-anak di depan kelas. Memahamkan secara
sederhana kepada mereka tentang profesi saya.
© Ketiga, saya berharap bisa mengubah
pemikiran mereka bahwa ada begitu banyak cita-cita positif di luar sana yang
bisa mereka raih.
© Keempat, saya ingin membuat sebuah memori indah dalam
perjalanan hidup. Setidaknya memori ini bisa saya ceritakan suatu saat nanti
kepada anak-anak saya.
Kegiatan
kami pun dimulai dari sini.
Hari pertama. Sabtu, 29 Januari 2017. Briefing. Bertempat
di Roemah Budaya Martha Tilaar.
Berkumpul
dengan semua Relawan Pengajar, Relawan Dokumentator dan Fasilitator. Mengikuti
segenap materi mulai dari tips-tips bagaimana membuat ice breaking hingga
bagaimana menyampaikan materi ajar yang menarik. Membuat konsep secara ide
maupun teknis acara pada masing-masing kelompok. Saya mendapat kelompok di MI
Muhammadiyah Redisari, Kecamatan Rowokele.
© Hari Kedua. Minggu, 30 Januari
2017. Survei Lokasi.
Sebenarnya
kegiatan ini tidak diwajibkan, hanya inisiatif dari masing-masing kelompok saja.
Sekitar 45 menit perjalanan menuju lokasi dari kota Gombong. Di MI Muhammadiyah
Redisari kami benar-benar merasakan sambutan yang baik dan hangat dari beberapa
guru di sana. Dengan suguhan ala-ala jajanan pasar dan sate ayam ala bakul
keliling, kami sudah merasa diistimewakan oleh mereka. Survei kali ini kami
mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk hari inspirasi nanti.
Mengecek lokasi dari kelas, perpustakaan, mushola hingga toilet. Air di sini
sangat jernih dan bersih. Namun ada yang menarik bagi saya, toilet di sini lain
dari biasanya.
|
Penampakan air sungai di dekat sekolah |
|
Bisa membayangkan toilet di sini? |
© Hari Ketiga. Senin, 31
Januari 2017. Hari Inspirasi.
Inilah hari
yang ditunggu-tunggu plus hari yang bikin deg-degan. Sepanjang jalan masih
terus berpikir bagaimana cara menghadapi anak-anak kelas 1 s.d. kelas 3 yang
cenderung masih belum terlalu paham akan analogi profesi, karena ini baru
pertama kali menghadapi “monster-monster” kecil dengan berbagai karakteristik
di tiap kelasnya. Semua relawan mendapat 5 kali jam mengajar dan saya mendapat urutan mengajar dimulai dari
kelas 2, 3, 4, 5, dan 6.
Saya membawa
berbagai alat peraga yang telah disiapkan dua minggu sebelum acara ini.
Untungnya Pajak memiliki maskot berupa lebah “Kojib” yang bisa menjadi alat
peraga yang menarik perhatian anak-anak. Setidaknya sedikit membantu meski
sebenarnya ribet juga karena saya membuat sebuah wayang-wayangan dengan gambar
lebah.
Acara
pertama dimulai dengan upacara pengibaran bendera merah putih. Entah, mungkin
saya sudah lupa rasanya mengikuti upacara seperti ini. Upacara kali ini
berhasil membawa memori saya kembali ke masa sekolah, dimana upacara terkadang
menjadi hal yang menyebalkan karena harus berdiri panas-panasan. Tapi bisa jadi
sangat menyenangkan karena mengurangi satu jam pelajaran di kelas. Melihat
mereka seperti melihat saya masa kecil yang bahkan saat seperti mereka itu saya
belum memiliki cita-cita. Saya belum tahu akan menjadi seperti apa ketika sudah
besar nanti. Bahkan mungkin saat seusia mereka yang sedang berbaris di depan saya
sekarang ini, saya belum terpikir untuk membuat sebuah cita-cita.
Penyambutan
yang hangat dari pihak sekolah membuat kami merasa dihargai di sekolah ini.
Mereka sepenuhnya percaya bahwa kami para relawan khususnya relawan pengajar
mampu menginspirasi anak didik mereka. setelah sambutan dari pihak sekolah,
kini giliran saya membuat sebuah sambutan sebagai perwakilan relawan. Sudah
saya siapkan sedikit contekan poin-poin yang ingin disampaikan, maklum saya
jarang sambutan di depan umum hehe.. Yah tapi namanya juga grogi, ada beberapa
poin yang lupa saya sampaikan. Untungnya waktu harus dipercepat supaya sesuai
dengan rundown acara. Setelah upacara selesai saya pun masih harus memimpin
flashmob berupa senam penguin. Memimpin karena sedikit dipaksa oleh teman-teman.
Apa boleh buat demi anak-anak lucu ini, saya pun mulai berlenggak-lenggok
seperti penguin. Menempatkan diri saya pada posisi seperti anak kecil. Ukuran
tubuh memang boleh seperti anak kecil, terkadang tingkah laku juga masih sih,
tapi pemikiran gak boleh kayak anak kecil terus hehe.. Saya berusaha
menghapalkan gerakan senam ini malam sebelumnya, jadi saat memimpin banyak
improvisasi yang saya buat sendiri gerakannya. Ngasal banget deh pokoknya, yang
penting kami berhasil membuat mereka tertawa lepas, hanya itu saja harapan kami.
|
Relawan mengikuti shalat dhuha bersama (ritual setiap pagi) |
|
Pengibaran Bendera Merah Putih |
|
Penghormatan Bendera Merah Putih |
|
Senam Penguin |
Kelas
pertama pun dimulai.
Di kelas
dua, saya mulai mengendap-endap masuk ke dalam kelas dengan mengintip sedikit
dari pintu dengan memasukkan tangan saya yang memegang boneka lebah ke dalam
kelas.
“Halooo,,
Assalamulaikum, ada yang tau ini apa?” Saya mulai mencuri perhatian mereka.
“Lebaaahh.”
Mereka menjawab sambil tertawa lirih-lirih.
“Boleh nggak
saya masuk?”
“Walaikumsalaaaamm,,
booooleeehh.” Aah senangnya saya
disambut oleh mereka.
Kelas pertama
ini saya nikmati dengan semampu saya. Anak-anak yang masih polos dan mungkin belum
begitu mengerti apa itu cita-cita. Saya membuat sebuah permainan dimana yang
berani maju untuk menceritakan cita-citanya akan diberi salam hebat oleh semua
teman-temannya di kelas. Misalnya “Ilham kamu hebaaatt” sambil memberikan dua
jempol jari kepada Ilham. Salam ini saya pelajari dari diklat yang pernah saya
ikuti. Sebagai rasa apresiasi teman-teman sekelas terhadapnya karena sudah
berani maju ke depan untuk menceritakan cita-citanya. Kami bermain-main dengan
alat peraga yang sudah saya bawa. Tidak terasa time keeper di luar kelas sudah
memberikan kode, waktu saya tinggal 5 menit lagi dan waktunya saya membuat
sebuah penutupan untuk kelas pertama ini.
Begitu keluar
dari kelas pertama hati saya senang karena saya berhasil mengatasi sebuah kelas
banyak “monster kecil” di dalamnya.
Memasuki kelas
kedua yaitu kelas tiga masih belum merasakan perbedaan dengan kelas sebelumnya.
Mungkin karena usia yang masih sama karakternya. Saya pun masih bisa
mengatasinya.
|
Bermain menggunakan alat peraga |
Berbeda dengan kelas yang ketiga yaitu kelas empat. Saya hampir
mati gaya karena kehabisan ide untuk mengajar. Bahkan di waktu terakhir saya
sempat kewalahan karena ada seorang anak berkulit hitam yang duduk di pojok
belakang, namanya Nanda. Dia menangis tersedu-sedu sambil menundukkan wajahnya
di atas meja.
Saya pun
mulai mengusap punggungnya dan berkata “Nanda kenapa nangis?” sayang
berkali-kali saya tanya demikian dia tidak mau menjawab.
“ Ada yang
nakalin kamu ya?” saya berusaha mencari tahu.
Dia pun
mengangguk.
Duuuhh
gawat, bagaimana ini? Bagaimana cara saya mengatasi kondisi seperti ini. Sedangkan
anak-anak sudah mulai gaduh.
Seraya anak-anak
yang lain berkata “Itu bu, Nanda nakal. Biasa itu bu, Nanda nakal.”
Loh kok jadi
Nanda yang nakal. Kan tadi Nanda yang bilang dinakalin. Ohh iya saya lupa,
jelas dia ngaku kalo dinakalin lah, kan saya yang nanya Nanda dinakalin sama
siapa? Hehe..
Saya bingung
dengan kondisi ini, untung ada relawan fotografer yang menyelamatkan saya
dengan mengajak semua siswa foto bersama, setidaknya saya bisa mengulur waktu
untuk meminta bantuan guru kelas untuk menghadapi Nanda yang masih menangis.
Baru saja
saya melongok keluar kelas untuk mencari guru kelasnya, dan kembali pandangan
saya ke dalam kelas. Oohhh noooo, si Nanda sudah berada di meja paling depan
dan memegang kerah temannya itu sambil muka marah dan tegang. What?? Ini ada
apa lagi? Hhhh,, nafas saya berhembus panjang “Nak, kalian kenapa nakal-nakal
sih?” dalam hati saya berkata. Untungnya teman-temannya dapat melerai mereka
berdua. Dan setelah kelas usai saya baru tahu kalau mereka bertengkar karena
berebut alat peraga yang saya bawa. Saya lupa, info yang diberikan dari bapak
ibu guru memang kelas 4 yang paling susah di atasi. Pantas saja saya hampir
kewalahan.
Keluar dari
kelas 4, saya bisa bernafas lega. Bel berbunyi dan waktunya istirahat. Saya benar-benar
kelelahan seperti dua hari nggak makan, lapar sekali rasanya berbicara selama 3
jam pelajaran di 3 kelas. Begini toh rasanya jadi guru. Pantas saja ibu saya
selalu pernah bilang kalau mau puasa sunah rasanya haus sekali karena seharian
ngomong di depan kelas yang lebih sering untuk susah diatur. Dan sekarang
merasakan pekerjaan yang ibu saya lakukan berpuluh tahun lamanya.
|
Waktu saya menanyakan cita-cita mereka |
|
Bersama "Monster-Monster" Kelas 3 |
"Yang dengar suara Ibu tunjuk meja,
Yang dengar suara Ibu tunjuk pintu,
tunjuk kursi,
tunjuk peta,
tunjuk buku,
tunjuk Ibuuuuu..." Fiuuhhft saya berhasil menguasai kelas yang gaduh ini. dan saya pun mendapatkan momen bagus untuk di dokumentasikan saat saya ditunjuk mereka hehe...
|
Saya ditunjuk oleh merekaaaa |
|
Selfie sejenak dengan para "Monster" |
Istirahat telas
usai. Cukuplah saya mengisi energi selama 15 menit. Setidaknya minum saja sudah
cukup mengembalikan energi saya. Sekarang waktunya saya mengisi dua kelas
terakhir yaitu kelas 5 dan 6.
Rupanya berada
di dua kelas ini memberikan saya banyak waktu untuk istirahat. Mereka sangat
mudah diatur dan cepat sekali menaggapi apa yang saya ceritakan. Feedback mereka
sangat cepat dan mudah diterima. Syukurlah setidaknya saya berada di sebuah
kelas yang bisa diajak untuk berpikir tentang cita-cita yang sebenarnya. Mungkin
karena secara usia mereka sudah lebih bisa menangkap apa yang saya sampaikan. Perilaku
mereka secara umum baik dan sopan. Saya memberikan metode pengajaran yang
berbeda di dua kelas ini. Menggunakan alat peraga yang lain dari 3 kelas
sebelumnya.
Di kelas
terakhir yaitu kelas 6, saya memberikan pengajaran persis dengan yang saya
berikan di kelas 5. Kemudian di sesi terakhir kelas ini. Mereka semua
diharuskan menuliskan cita-cita mereka di sebuah pohon cita-cita.
|
Bersama "Monster" kelas 5, setelah memperagakan alat peraga |
|
Pohon Cita-Cita Kelas 6 |
|
Cita-citaku menjadi Sopir |
Aahh rasanya
bahagia sekali mengikuti Kelas Inspirasi. Tawa dan senyum saya bisa begitu
lepas, seperti tanpa ada beban. Bahagia memang tidak selalu berharap untuk
diberi tapi bisa dengan berbagi.
Terima Kasih untuk seluruh Tim Relawan Pengajar, Relawan Dokumentator dan Fasilitator KI MI Muhammadiyah Redisari "Setinggi Walet Terbangkan Mimpi Anak Negeri".
Terima Kasih untuk Ibu dan Bapak Guru yang menyambut kami dengan hangat dan tentunya untuk "monster-monster" kecil yang menggoreskan memori indah untuk kami.