Kamis, 02 November 2017

Sederhanakan syarat bahagiamu agar mudah untuk bersyukur. Sesuatu yang sederhana dari saya semoga bisa dipetik hikmahnya

* klik di masing-masing judul ya.. ^.^

14.  Cerita Umroh 2016
·          Waiting for the Call
·         Terbang Bersama Royal Brunei
·          Umroh Part 1
·          Umroh Part 2
·          City Tour Makkah
·         City Tour Madinah
·          Serba-serbi Makkah
·          Serba-serbi Madinah
  

“MONSTER KECIL” YANG MENGGEMASKAN


“Ibu, jangan pulang, sini aja”. Cegah mereka sambil memegangi tangan kanan dan kiri saya.

“Iya Bu, jangan pulang, nginep sini aja”, sahut yang lain.

“Ibu kan kelasnya udah selesai. Nanti habis ini ada kelas lain”. Kata saya kepada mereka sambil memikirkan bagaimana caranya untuk lepas dari “jeratan” anak-anak ini.

Mencoba mengalihkan perhatian mereka, kemudian saya mengajak mereka untuk selfie bersama, “Ehh..kita selfie dulu yuukk!”

“Ayook..Ayook Bu”, sambil bersemangat mereka mulai berebut mendekati saya. Saya hampir saja terjatuh.

“Udah ya, sekarang Ibu pergi dulu”.

Mereka semakin kuat memegangi tangan saya dan kali ini pintu kelas ditutup. “Yaah jangan Bu, sini aja”.

Hhhh.. saya tidak boleh kehabisan cara untuk lepas dari “kurungan mereka”. Cara apalagi yang akan saya gunakan ya? Sambil berpikir akan bagaimana ini.

Selfie bersama

***
Itu sekelumit cerita dari kelas 4A setelah sesi saya berakhir di kelas ini. Teman-teman relawan juga mengakui bahwa kelas ini penuh dengan tantangan. Tenaga mereka super sekali. Bahkan hingga sesi terakhir pun seperti tidak kehabisan amunisi energi.

Sesi kali ini adalah sesi saya, karena sebelumnya saya membuat perjanjian bersama partner pengajar saya. Kami bersepakat untuk saling bergantian saat mengisi kelas, jika salah satu menjadi pemateri maka yang satunya berperan sebagai asisten. Kami butuh tenaga ekstra untuk menghadapinya, energi mereka dua kali lebih besar dibanding kami.

Pertama kali masuk kelas, saya yakin pengajar akan langsung dapat mengenali mana anak yang terkenal sebagai “bos” dan mana anak yang “penurut” bahkan ada anak yang suka menjadi “troublemaker”. Di sini tugas bapak dan ibu guru dimulai. Pengajar dituntut untuk menaklukan tantangan bagaimana memanage kelas supaya pengajar bisa jadi aktor utama yang bisa menjadi perhatian mereka selama kelas berlangsung.

Beruntungnya dua hari sebelum pelaksanaan Kemenkeu Mengajar, kami dibriefing oleh salah satu alumni Pengajar Muda Indonesia Mengajar yang sudah mumpuni dalam dunia pengajaran. Meski teori sudah kami dapatkan, nyatanya setelah masuk kelas materi yang telah kami dapatkan tersebut bisa hilang seketika saat menghadapi “moster kecil” ini. Ya, saya menyebutnya “monster kecil yang lucu”. Karena mereka akan berubah menjadi “monster” yang menggemaskan bila kita bisa memperlakukan dengan tepat, namun mereka juga bisa berubah menjadi “monster yang terlihat ganas” bila cara kita salah dalam memperlakukan mereka.

Outline pengajaran yang kami buat sebelumnya hanya nyantol beberapa poin saja, selebihnya mengikuti kondisi kelas yang sedang dihadapi saat itu. Karena ini adalah sesi saya sebagai pemateri, maka saya yang lebih  berperan dalam menentukan metode pengajaran seperti apa yang ingin saya inginkan. Di beberapa menit pertama rasanya saya mulai kebingungan menghadapi kelas ini. Karakteristik yang lebih susah diatur dari kelas sebelumnya. Taktik pertama saya adalah memilih polisi kelas, seperti yang telah kami dapatkan saat briefing. Saya membuat peraturan kelas dengan memilih salah satu anak untuk menjadi polisi. Tugas polisi ini adalah menertibkan kelas jika ada yang melanggar peraturan yang telah disepakati. Kami pun membuat tanda persetujuan dengan membuat cap jari di kertas kesepakatan. Dan kami sengaja memilih anak yang menjadi “bos” di kelas ini. Metode ini bisa efektif bisa jadi tidak tergantung kondisi masing-masing kelas, juga tergantung siapa polisi yang dipilih. Namun sejauh ini saya lumayan bisa mengendalikan kelas karena polisi yang saya pilih adalah anak yang menonjol sikapnya di kelas.

Kesepakatan perjanjian ketertiban kelas

Saya mulai dengan beberapa permainan tepuk. Menanyakan kesimpulan apa yang telah mereka dapatkan dari sesi sebelumnya. Kemudian, saya mengajak semua anak untuk duduk bersama di depan kelas, supaya mereka tidak bosan duduk di bangku dengan posisi formal. Saya mulai membuka alat peraga yang telah saya siapkan jauh-jauh hari. Alat peraga ini dinamakan “Pop up book sadar pajak”. Pop up book adalah semacam buku yang ketika dibuka sebesar 90 atau 180 derajat akan menghasilkan gambar 3 atau 2 dimensi. Isinya berupa profil saya, pekerjaan, pengenalan kementerian keuangan, pengenalan kantor pajak, serta materi analogi sederhana tentang pajak.

Pop up book sadar pajak

Mereka cukup antusias ketika saya membuka satu per satu halaman buku. “Waah kok bisa berdiri Bu, gambarnya”. Ahaii.. saya mendapatkan satu kunci dari mereka yaitu tertarik dengan apa yang saya peragakan.

“Ini gambar apa?” tanya saya sambil menunjuk gambar.

“Peta Indonesia, Bu”.

“Kalau ini pulau apa?” tunjuk saya pada salah satu gambar pulau.

“Sumatera”.

“Wah pinter..  kalau pulau yang diujung ini apa namanya?” tanya saya lagi.

“Papua, Bu”. Jawab salah satu anak.

Penjelasan materi

“Kalian tahu nggak, kalau kantor pajak itu ada di seluruh wilayah Indonesia dari ujung barat sampai ujung timur dan dari ujung utara sampai ujung selatan. Kalian tahu ada berapa kantor pajak di Indonesia?”.
Kemudian saya menunjuk sebuah gambar kantor pajak yang sudah tertulis jumlahnya. Sambil menjelaskan, “Kantor pajak itu ada sekitar 331 yang tersebar di seluruh Indonesia.”

“Wah, banyak ya”. Sahut mereka.

“Bu, gaji ibu berapa? Banyak ya, Bu?”, celetuk Dea. salah satu anak perempuan yang menonjol di kelas.

“Gaji ibu berapa ya? Nah, ada yang tahu gak gaji ibu itu dari mana?” Tanya saya pada mereka.

“Dari Negara”. Jawab salah satu anak laki-laki.

“Negara dari mana uangnya?” Tanya saya lagi.

“Dari pemerintah”. Jawab anak yang lainnya.

“Nah terus, pemerintah dapat uangnya dari mana coba?” saya pancing mereka lagi. Raut wajah mereka mulai kebingunga mencari jawaban atas pertanyaan saya ini.

“Pemerintah menggaji PNS itu uangnya salah satunya dari pajak. Selain itu fasilitas umum yang ada di sekitar kita juga didanai dari uang pajak. Pajak itu adalah bergotong-royong dan berbagi. Sekarang ibu mau sedikit bercerita”. Kemudian saya membuka halaman berikutnya untuk menjelaskan analogi sederhana tentang apa itu pajak.

“Kalian sudah mulai masuk ke dalam pengendalianku”. Batin saya.

***

“Ohh iya foto lagi yuk, tapi sekarang fotonya di luar ya”, ajakan saya supaya bisa lepas dari jeratan anak-anak ini. Mereka sangat bersemangat untuk berfoto, apalagi di luar sudah ada fotografer penyelamat saya. Kami pun berfoto bersama di depan kelas. Setelah itu satu per satu dari mereka berebut menyalami tangan saya. Akhirnya saya mulai bisa terlepas dari jeratan mereka. Terima kasih monster kecilku yang lucu. Kalian sungguh sangat menggemaskan.

Foto bersama kelas 4A

***

 “Ketika alat peraga harus semenarik mungkin untuk mencuri perhatian mereka dan analogi harus sesederhana mungkin sesederhana pikiran mereka”. (Yulia Nur Annisa Relawan Pengajar KM Purwokerto - SD Negeri Kedungwuluh 4 Purwokerto).

Untuk video lengkap Kemenkeu Mengajar Purwokerto- Klik Di sini ya

Sabtu, 18 Februari 2017

Kelas Inspirasi Kebumen #2 (MI Muhammadiyah Redisari)


Kelas Inspirasi adalah membuat sebuah memori untuk bisa diceritakan kepada siapapun yang peduli pada cita-cita anak negeri, pada siapapun yang memiliki frekuensi yang sama dengan kami untuk saling berbagi dan pada siapapun yang sekedar tertarik untuk mendengarkan cerita hari inspirasi kami.
Kelas Inspirasi merupakan turunan dari Indonesia Mengajar dengan sebuah tag line “Cuti Sehari, Menginspirasi Selamanya.”

Ini adalah kali pertama saya mengikuti Kelas Inspirasi atau yang sering kami sebut KI. Ada berbagai alasan yang membuat hati saya tergerak untuk mengikuti kegiatan ini.
©      Pertama, Ibu saya adalah seorang guru SD di sebuah desa. Saya hanya ingin sekedar mencoba bagaimana rasanya pekerjaan yang dilakukan ibu saya selama puluhan tahun lamanya.
©  Kedua, saya ingin mencoba tantangan baru untuk mengajar anak-anak di depan kelas. Memahamkan secara sederhana kepada mereka tentang profesi saya.
©    Ketiga, saya berharap bisa mengubah pemikiran mereka bahwa ada begitu banyak cita-cita positif di luar sana yang bisa mereka raih.
©   Keempat, saya ingin membuat sebuah memori indah dalam perjalanan hidup. Setidaknya memori ini bisa saya ceritakan suatu saat nanti kepada anak-anak saya.

Kegiatan kami pun dimulai dari sini.
Hari pertama. Sabtu, 29 Januari 2017. Briefing. Bertempat di Roemah Budaya Martha Tilaar.

Berkumpul dengan semua Relawan Pengajar, Relawan Dokumentator dan Fasilitator. Mengikuti segenap materi mulai dari tips-tips bagaimana membuat ice breaking hingga bagaimana menyampaikan materi ajar yang menarik. Membuat konsep secara ide maupun teknis acara pada masing-masing kelompok. Saya mendapat kelompok di MI Muhammadiyah Redisari, Kecamatan Rowokele.

©      Hari Kedua. Minggu, 30 Januari 2017. Survei Lokasi.

Sebenarnya kegiatan ini tidak diwajibkan, hanya inisiatif dari masing-masing kelompok saja. Sekitar 45 menit perjalanan menuju lokasi dari kota Gombong. Di MI Muhammadiyah Redisari kami benar-benar merasakan sambutan yang baik dan hangat dari beberapa guru di sana. Dengan suguhan ala-ala jajanan pasar dan sate ayam ala bakul keliling, kami sudah merasa diistimewakan oleh mereka. Survei kali ini kami mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk hari inspirasi nanti. Mengecek lokasi dari kelas, perpustakaan, mushola hingga toilet. Air di sini sangat jernih dan bersih. Namun ada yang menarik bagi saya, toilet di sini lain dari biasanya.

Penampakan air sungai di dekat sekolah

Bisa membayangkan toilet di sini?

©      Hari Ketiga. Senin, 31 Januari 2017. Hari Inspirasi.
Inilah hari yang ditunggu-tunggu plus hari yang bikin deg-degan. Sepanjang jalan masih terus berpikir bagaimana cara menghadapi anak-anak kelas 1 s.d. kelas 3 yang cenderung masih belum terlalu paham akan analogi profesi, karena ini baru pertama kali menghadapi “monster-monster” kecil dengan berbagai karakteristik di tiap kelasnya. Semua relawan mendapat 5 kali jam mengajar dan  saya mendapat urutan mengajar dimulai dari kelas 2, 3, 4, 5, dan 6.
Saya membawa berbagai alat peraga yang telah disiapkan dua minggu sebelum acara ini. Untungnya Pajak memiliki maskot berupa lebah “Kojib” yang bisa menjadi alat peraga yang menarik perhatian anak-anak. Setidaknya sedikit membantu meski sebenarnya ribet juga karena saya membuat sebuah wayang-wayangan dengan gambar lebah.
Acara pertama dimulai dengan upacara pengibaran bendera merah putih. Entah, mungkin saya sudah lupa rasanya mengikuti upacara seperti ini. Upacara kali ini berhasil membawa memori saya kembali ke masa sekolah, dimana upacara terkadang menjadi hal yang menyebalkan karena harus berdiri panas-panasan. Tapi bisa jadi sangat menyenangkan karena mengurangi satu jam pelajaran di kelas. Melihat mereka seperti melihat saya masa kecil yang bahkan saat seperti mereka itu saya belum memiliki cita-cita. Saya belum tahu akan menjadi seperti apa ketika sudah besar nanti. Bahkan mungkin saat seusia mereka yang sedang berbaris di depan saya sekarang ini, saya belum terpikir untuk membuat sebuah cita-cita.




Penyambutan yang hangat dari pihak sekolah membuat kami merasa dihargai di sekolah ini. Mereka sepenuhnya percaya bahwa kami para relawan khususnya relawan pengajar mampu menginspirasi anak didik mereka. setelah sambutan dari pihak sekolah, kini giliran saya membuat sebuah sambutan sebagai perwakilan relawan. Sudah saya siapkan sedikit contekan poin-poin yang ingin disampaikan, maklum saya jarang sambutan di depan umum hehe.. Yah tapi namanya juga grogi, ada beberapa poin yang lupa saya sampaikan. Untungnya waktu harus dipercepat supaya sesuai dengan rundown acara. Setelah upacara selesai saya pun masih harus memimpin flashmob berupa senam penguin. Memimpin karena sedikit dipaksa oleh teman-teman. Apa boleh buat demi anak-anak lucu ini, saya pun mulai berlenggak-lenggok seperti penguin. Menempatkan diri saya pada posisi seperti anak kecil. Ukuran tubuh memang boleh seperti anak kecil, terkadang tingkah laku juga masih sih, tapi pemikiran gak boleh kayak anak kecil terus hehe.. Saya berusaha menghapalkan gerakan senam ini malam sebelumnya, jadi saat memimpin banyak improvisasi yang saya buat sendiri gerakannya. Ngasal banget deh pokoknya, yang penting kami berhasil membuat mereka tertawa lepas, hanya itu saja harapan kami.

Relawan mengikuti shalat dhuha bersama (ritual setiap pagi)

Pengibaran Bendera Merah Putih


Penghormatan Bendera Merah Putih

Senam Penguin


Kelas pertama pun dimulai.
Di kelas dua, saya mulai mengendap-endap masuk ke dalam kelas dengan mengintip sedikit dari pintu dengan memasukkan tangan saya yang memegang boneka lebah ke dalam kelas.
“Halooo,, Assalamulaikum, ada yang tau ini apa?” Saya mulai mencuri perhatian mereka.
“Lebaaahh.” Mereka menjawab sambil tertawa lirih-lirih.
“Boleh nggak saya masuk?”
“Walaikumsalaaaamm,, booooleeehh.”  Aah senangnya saya disambut oleh mereka.
Kelas pertama ini saya nikmati dengan semampu saya. Anak-anak yang masih polos dan mungkin belum begitu mengerti apa itu cita-cita. Saya membuat sebuah permainan dimana yang berani maju untuk menceritakan cita-citanya akan diberi salam hebat oleh semua teman-temannya di kelas. Misalnya “Ilham kamu hebaaatt” sambil memberikan dua jempol jari kepada Ilham. Salam ini saya pelajari dari diklat yang pernah saya ikuti. Sebagai rasa apresiasi teman-teman sekelas terhadapnya karena sudah berani maju ke depan untuk menceritakan cita-citanya. Kami bermain-main dengan alat peraga yang sudah saya bawa. Tidak terasa time keeper di luar kelas sudah memberikan kode, waktu saya tinggal 5 menit lagi dan waktunya saya membuat sebuah penutupan untuk kelas pertama ini.
Begitu keluar dari kelas pertama hati saya senang karena saya berhasil mengatasi sebuah kelas banyak “monster kecil” di dalamnya.
Memasuki kelas kedua yaitu kelas tiga masih belum merasakan perbedaan dengan kelas sebelumnya. Mungkin karena usia yang masih sama karakternya. Saya pun masih bisa mengatasinya.

Bermain menggunakan alat peraga

Berbeda dengan kelas yang ketiga yaitu kelas empat. Saya hampir mati gaya karena kehabisan ide untuk mengajar. Bahkan di waktu terakhir saya sempat kewalahan karena ada seorang anak berkulit hitam yang duduk di pojok belakang, namanya Nanda. Dia menangis tersedu-sedu sambil menundukkan wajahnya di atas meja.
Saya pun mulai mengusap punggungnya dan berkata “Nanda kenapa nangis?” sayang berkali-kali saya tanya demikian dia tidak mau menjawab.
“ Ada yang nakalin kamu ya?” saya berusaha mencari tahu.
Dia pun mengangguk.
Duuuhh gawat, bagaimana ini? Bagaimana cara saya mengatasi kondisi seperti ini. Sedangkan anak-anak sudah mulai gaduh.
Seraya anak-anak yang lain berkata “Itu bu, Nanda nakal. Biasa itu bu, Nanda nakal.” 
Loh kok jadi Nanda yang nakal. Kan tadi Nanda yang bilang dinakalin. Ohh iya saya lupa, jelas dia ngaku kalo dinakalin lah, kan saya yang nanya Nanda dinakalin sama siapa? Hehe..
Saya bingung dengan kondisi ini, untung ada relawan fotografer yang menyelamatkan saya dengan mengajak semua siswa foto bersama, setidaknya saya bisa mengulur waktu untuk meminta bantuan guru kelas untuk menghadapi Nanda yang masih menangis.
Baru saja saya melongok keluar kelas untuk mencari guru kelasnya, dan kembali pandangan saya ke dalam kelas. Oohhh noooo, si Nanda sudah berada di meja paling depan dan memegang kerah temannya itu sambil muka marah dan tegang. What?? Ini ada apa lagi? Hhhh,, nafas saya berhembus panjang “Nak, kalian kenapa nakal-nakal sih?” dalam hati saya berkata. Untungnya teman-temannya dapat melerai mereka berdua. Dan setelah kelas usai saya baru tahu kalau mereka bertengkar karena berebut alat peraga yang saya bawa. Saya lupa, info yang diberikan dari bapak ibu guru memang kelas 4 yang paling susah di atasi. Pantas saja saya hampir kewalahan.
Keluar dari kelas 4, saya bisa bernafas lega. Bel berbunyi dan waktunya istirahat. Saya benar-benar kelelahan seperti dua hari nggak makan, lapar sekali rasanya berbicara selama 3 jam pelajaran di 3 kelas. Begini toh rasanya jadi guru. Pantas saja ibu saya selalu pernah bilang kalau mau puasa sunah rasanya haus sekali karena seharian ngomong di depan kelas yang lebih sering untuk susah diatur. Dan sekarang merasakan pekerjaan yang ibu saya lakukan berpuluh tahun lamanya.

Waktu saya menanyakan cita-cita mereka

Bersama "Monster-Monster" Kelas 3
"Yang dengar suara Ibu tunjuk meja,
Yang dengar suara Ibu tunjuk pintu,
tunjuk kursi,
tunjuk peta,
tunjuk buku,
tunjuk Ibuuuuu..." Fiuuhhft saya berhasil menguasai kelas yang gaduh ini. dan saya pun mendapatkan momen bagus untuk di dokumentasikan saat saya ditunjuk mereka hehe...


Saya ditunjuk oleh merekaaaa

Selfie sejenak dengan para "Monster"

Istirahat telas usai. Cukuplah saya mengisi energi selama 15 menit. Setidaknya minum saja sudah cukup mengembalikan energi saya. Sekarang waktunya saya mengisi dua kelas terakhir yaitu kelas 5 dan 6.
Rupanya berada di dua kelas ini memberikan saya banyak waktu untuk istirahat. Mereka sangat mudah diatur dan cepat sekali menaggapi apa yang saya ceritakan. Feedback mereka sangat cepat dan mudah diterima. Syukurlah setidaknya saya berada di sebuah kelas yang bisa diajak untuk berpikir tentang cita-cita yang sebenarnya. Mungkin karena secara usia mereka sudah lebih bisa menangkap apa yang saya sampaikan. Perilaku mereka secara umum baik dan sopan. Saya memberikan metode pengajaran yang berbeda di dua kelas ini. Menggunakan alat peraga yang lain dari 3 kelas sebelumnya.
Di kelas terakhir yaitu kelas 6, saya memberikan pengajaran persis dengan yang saya berikan di kelas 5. Kemudian di sesi terakhir kelas ini. Mereka semua diharuskan menuliskan cita-cita mereka di sebuah pohon cita-cita.

Bersama "Monster" kelas 5, setelah memperagakan alat peraga
Pohon Cita-Cita Kelas 6
Cita-citaku menjadi Sopir

Aahh rasanya bahagia sekali mengikuti Kelas Inspirasi. Tawa dan senyum saya bisa begitu lepas, seperti tanpa ada beban. Bahagia memang tidak selalu berharap untuk diberi tapi bisa dengan berbagi.

Terima Kasih untuk seluruh Tim Relawan Pengajar, Relawan Dokumentator dan Fasilitator KI MI Muhammadiyah Redisari "Setinggi Walet Terbangkan Mimpi Anak Negeri".
Terima Kasih untuk Ibu dan Bapak Guru yang menyambut kami dengan hangat dan tentunya untuk "monster-monster" kecil yang menggoreskan memori indah untuk kami.
Seluruh Relawan, Fasilitator, dan Para Guru

Kelas Inspirasi MI Muhammadiyah Redisari

Link Video Youtube: Kelas Inspirasi MI Muhammadiyah Redisari__Klik